Penegakan Hukum

BERHUKUM YANG ADIL DEMI AMANAT RAKYAT


Memutar kembali ingatan pada hiruk pikuknya perhelatan Pilpres 2014 yang baru lalu, terjadi pertarungan sengit antara kubu Kualisi Merah Putih (KMP) yang menja-gokan Letnan Jenderal (TNI) Purn. Prabowo Subianto dan Hatta Tajasa selaku calon presiden dan wakil presiden, dengan kubu Kualisi Indonesia Hebat (KIH) yang ingin mempertuan agungkan Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) dan Drs. HM. Jusuf Kalla (JK) terpilih menjadi presiden dan wkil presiden Republik Indonesia 2014-2019, banyak meninggalkan kesan politik kepada rakyat yang tidak mencerminkan suatu warisan pendidikan politik yang layak tampil untuk dicontohkan oleh generasi mendatang dalam membangun dinamika peradaban demokrasi di Indonesia.

Apa yang tergambar di atas, sesuai dengan apa yang saya baca dari tulisan Solihin Gautama Puwanegara (SGP) yang akrab dipanggil Mang Ihin pada Harian Umum Pikiran Rakyat (23/6/2014) sungguh sangat mengiris hati. Keprihatinan pejuang ’45 terhadap kondisi negeri ini tentu sangat beralasan, terutama menyangkut kelakuan dan perangai buruk para pemimpinnya harus segera mendapat respons yang positif dari generasi penerus.

Saya selaku Ketua Umum Angkatan Rakyat Kebangsaan Indonesia (ARKI) adalah orang yang lahir jauh setelah kemerdekaan, bertanya-tanya dalam kegundahan dan kegelisahan kenapa generasi penerus bangsa ini tidak siap sedia mencari satu hal yang namanya “teladan” dari generasi pejuang yang sekarang masih ada, para pemimpin politik saling hujat dan saling menjatuhkan dengan berbagai agitasi dan infiltrasi politik frontal, tentu hal ini sangat bertentangan dengan sebutan Indonesia sebagai negara Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai “yang adil dan beradap.” Para jenderal tua saling memburukkan sesamanya, bukan justru mem-beri contoh teladan bagaimana Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang solid hingga purna tugas. Jika terus demikian sikap-sikap para jenderal purnawirawan, betapa rapuhnya mentalitas tentara nasional kita hanya karena kepentingan jabatan sesaat dari para jenderal tuanya, menjadi saling jatuh menjatuhkan.

Pemimpin Panutan

Bangsa Indonesia mengenal budaya panutan, bukan budaya manut seperti kerbau yang ditusuk hidungnya dengan tali pengikat bisa ditarik dan dihalau kemana pun maunya si pengembala. Oleh karena itu, manakala pemimpin menunjukkan ketela-danan, rakyat pun akan mengikutinya. Sama seperti menurutnya sang kerbau tadi, sebagaimana Aristoteles mengatakan, bahwa; “manusia adalah binatang politik.” Demikian halnya, ketika pemimpin melakukan pelanggaran hukum sekecil apa pun rakyat akan bereaksi dan mengikuti dengan dalih pemimpinnya juga melakukan pelanggaran hukum. Penegakan hukum di Indonesia bukan ansich dengan cara represif saja, tetapi juga perlu keteladanan. Bagaimana rakyat akan patuh kepada hukum apabila para pemimpin negeri ini justru berlomba-lomba mengangkangi dan melanggar hukum.

Secara substansi berbagai peraturan perundang-undangan sah sudah diundangkan dalam lembaran negara, semuanya bermuara kepada pencapaian tujuan Indonesia sebagai negara hukum yakni, tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa alasan dan halangan apa pu harus terwujud sebagai keadilan, kesejahtraan, dan kedamaian. Tidak ada yang salah dari berbagai peraturan hokum yang sudah ada, yang salah adalah para aparat penegakan yang salah kaprah, penuh rekayasa, penuh kepenting dan sekaligus mereka sendiri melawan hukum. Pokok persoalan ini bukan saja berasal dari aparat penegak hukum yang melanggar keluhuran jitidiri dan martabatnya, tetapi juga ada andil besar masyarakat yang ingin gampang menerabas hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai aturan normative yang luhur dan penuh keagungan, tetapi hanya dipandang sebagai seperangkat aturan buatan manusia legislator yang bisa dibelokkan dengan uang dan kekuasaan.

Di masa pemerintah kolonial Belanda, hukum semata-mata diarahkan untuk ke-pentingan kolonial dengan cara mengintimidasi dan menindas rakyat. Pada zaman kemerdekaan Indonesia yang hingga kini sudah berusia 70 tahun, hukum malah dipakai sebagai alat untuk kekuasaan. Di zaman Orde Baru kontras terlihat hukum dipakai sebagai alat mempertahankan kelanggengan kekuasaan, menindas rakyat, dan sebagai alat melakukan korupsi, serta penyalahgunaan wewenang lainnya sampai kepada abuse of power Soeharto berkuasan hingga 32 tahun. Pada era reformasi sampai sekarang (1998-2015) lebih parah lagi, hukum dijadikan sebagai alat untuk membohongi dan membodohi rakyat demi meraih kekuasaan dengan cara merekayasa penegak hukum, sehingga fungsi hukum semakin jauh dari tujuan dan cita-cita pembentukannya.

Kondisi seperti ini diperparah dengan keberanian masyarakat melakukan perbuatan main hakim sendiri (eigen richting), rakyat tidak lagi menaruh hormat kepada hokum dan institusi penegak hukum, bukan sekali dua kali masyarakat membakar kantor polisi sektor, merusak kantor kejaksaan dan pengadilan. Hal ini bukan saja disebabkan karena rakyat sudah frustasi kepada kehidupannya yang lalu susah, tetapi lebih kepada ketidakpercayaan rakyat kepada penegak hukum.

Hukum Sebagai Panglima

Ambil contoh nun jauh di negeri Paman Sam, ketika Senator Al Gore dikalahkan oleh pengadilan Amerika Serikat tentang gugatan dalam pilres melawan George Bush Yunior, Al Gore cukup berkata, “Itulah Hukum.” Tidak terjadi huru-hara atau demontrasi pendukungnya, apalagi sampai membakar gedung pengadilan. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa hukum adalah tulang punggung suatu negara. Tanpa hukum dan penghormatannya, akan terjadi chaos, negara tanpa hukum adalah kumpulan gerombolan. Kita tidak terdidik menjadi masyarakat yang patuh kepada hukum. Masyarakat kita selalu ingin meraih segala sesuatu itu dengan cara instan walaupun melalui cara-cara pelanggaran hukum.

Berhukum yang adil harus dimulai dari pemimpin di negeri ini yang benar-benar dapat mengemban amanat rakyat, member masyarakat contoh perbuatan yang patuh kepada hukum, masyarakat jangan lagi disuguhi tontonan tebar pesona dari para pemimpinnya, kalau pada akhirnya pemimpin yang penuh pesona itu harus tergiring di kursi persakitan menunggu vonis hakim mendekam di penjara. Jangan ada lagi oknum-oknum pejabat aparatur sipil negara mengelak dari hukum atau menyiasati hukum. Hukum itu sendiri memang mempunyai dua sisi yang sama-sama tajam, oleh karena itu perlu budaya teladan dari para pemimpin sekaligus peneguh sikap political wiil yang jelas tentang hokum sebagai panglima.

Budaya panutan dari para pemimpin diyakini akan membawa pengaruh besar kepada masyarakat dalam kepatuhan terhadap hukum. Mindset masyarakat yang selama ini menganggap hukum mudah dilanggar harus dikikis habis dengan cara pemimpin dan seluruh pejabat aparat sipil negara member contoh keteladanan dan kepatuhan terhadap hukum. Efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia akan berhasil melalui budaya panutan dari pemimpin daripada melalui penegakan hukum yang represif.

Gonjang-ganjing kehidupan politik dan penegakan hukum yang selama ini terjadi di Indonesia semuanya berasal dari ketidakpatuhan terhadap hukum, hukum hanya dijadikan slogan dan jargon. Penegasan dalam konstitusi kita bahwa Indonesia adalah negara hukum, tidak parallel dengan jalannya kehidupan hukum kita baik dalam tatanan kenegaraan, penegakan hukum, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hukum sebenarnya adalah institusi netral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan hukum kita seharusnya merasa tentram, damai, dan sejahtera, bukan karena hukum membuat kita malah hidup dalam ketakutan, penindasan, dan ketidaktertiban. Para pemimpin harus meneguhkan sikap kembali secara tulus dan ikhlas memberi contoh bahwa hukum akan dijadikan panglima dalam mengawal kehidupan masyarakat.

Generasi pejuang, baik pejuang kemerdekaan yang masih ada, pejuang orde baru yang masih eksis dan banyak bergentayangan di berbagai sektor pemerintahan dan kenegaraan, pejuang reformasi, tunjukkan keteladanan kepada masyarakat, baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak kepatuhan terhadap hukum dan suri teladan lainnya. Para pemimpin pejuang ini harus berada pada garda terdepan dalam kepa-tuhan terhadap hukum, bukan sebaliknya sebagai perusak tatanan kehidupan hukum. Masyarakat pun dituntut untuk mengawasi tingkah laku para pemimpin dan aparat sipil negara dalam kepatuhan terhadap hukum sekaligus tidak ikut-ikutan larut dalam pelanggaran hukum.

Salam Kebangsaan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Islam

Jejak Sejarah Gerakan Wahhabisme