Ilmu Tauhid Edisi 4
TAUHID AL-ASMA' WASH-SHIFAT
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa
Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya,
baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah
disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa
sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.
Al-Walid bin Muslim bertanya kepada Imam Malik bin
Anas, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsury tentang berita yang
datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab: “Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah)
sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang
bagaimana sifat itu).”[1]
Imam Asy-Syafi’ Rahimahullah berkata:“Aku beriman
kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang
diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang
dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah"[2]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj
Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat
dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah
ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3]
dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil [6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa
ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat
Allah dengan makhluk-Nya”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan
Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat" [Asy-Syuura':11] Lafazh ayat: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya”
merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan
makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat: “Dan Dia
Mahamendengar lagi Mahamelihat” adalah bantahan kepada orang-orang
yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah. ‘Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah
Subhanhu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:
Pertama: Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat
kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Kedua: Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit
pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat
Allah.[7]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat
yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang
Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayat-Nya, tidak
menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan
Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa
Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang
serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta
Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.
Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa
Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dialah yang
lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya,
kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang
dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah
Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: “Mahasuci
Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb
sekalian alam."[Ash-Shaffat: 180-182]
Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan
diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para
Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para
Rasul, karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan
menodai keagungan Sifat Allah.[8]
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan
Asma’Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan
menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menyimpang dari ajaran yang
dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai
nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note :
____[1].
Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal.
303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil
Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134).
Sanadnya shahih.
____[2]. Lihat
Lum¡’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh
Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
____[3]. Tahrif
atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau
menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
____[4]. Ta’thil
yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh
atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa
ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung
oleh suatu nash dari al-Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya
yang terkandung dalam nash tersebut.
____[5]. Takyif
yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan:
“Bagaimana Sifat Allah itu?”. Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya
begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya,
karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah
Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya
Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat
maknanya.
____[6]. Tamtsil
sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa
Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100) oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal 66-69)
oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat
al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz,
al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Ma’anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz
as-Salman.
____[7]. Lihat
Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
____[8]. Lihat
at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
____[9]. Maksudnya,
Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam
al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam al-Qur’an secara garis
besarnya menolak adanya kesamaan atau keserupaan antara Allah dengan
makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela
dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi
penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi
Allah, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah tidak mengantuk dan
tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang
mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan
juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya,
hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah
oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
____[10]. Lihat QS.
An-Nisaa¡’ 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.
Komentar