Catatan Sejarah
KISAH ANTARA ACEH,
INDONESIA DAN MALAYSIA
Aceh laksana seorang gadis rupawan yang menjadi incaran banyak pemuda sejak dahulu kala. Walaupun
telah lama dipinang oleh seorang ‘lelaki' yang bernama Indonesia. Namun jalinan
kasih indah yang pernah terjalin dengan Malaysia, ternyata tidak mudah untuk
dilupakan hingga kini. Umpama tersebut
tidaklah berlebihan untuk di sanding dengan kondisi Provinsi Aceh hari ini.
Panorama alam yang indah, adat istiadat dan budaya Islam yang kental serta
Sumber Daya Alam yang berlimpah ruah telah menyebabkan daerah ini menjadi
rebutan dari dahulu kala.
Dalam rentetan sejarah,
Hanya Malaya (Malaysia-red) yang sempat memiliki kisah kasih yang indah dengan
Aceh. Sedangkan saat Aceh ’dekat’ dengan ‘pria berambut pirang’ (Belanda-red)
antara 1873 hingga 1904, dan ’pria bermata sipit’ (Jepang-red) sekitar tahun
1942, hingga dipinang seorang Pria bernama Indonesia, Aceh justru banyak
menderita.
Cinta Aceh antara
Malaysia, awalnya diperkirakan mulai pada abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis. Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red)
tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat perang dengan
Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari
jajahan Portugis.
Menurut sejarah Malem
Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil
membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan
menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil
mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu.
Dari peristiwa
tersebutlah kemudian tercipta hubungan harmonis antara Aceh dengan Malaysia,
baik pertukaran etnis hingga budaya. Hingga saat ini, ada banyak etnis melayu
yang tersebar di Aceh, demikian juga sebaliknya. Hubungan ini sedikit rengang
ketika Belanda dengan politik adu dombanya menancapkan ’kuku’ di Aceh. Namun
hal ini tidak mampu memudarkan cinta kasih Aceh dengan Malaysia.Sedangkan kisah
Aceh dengan Belanda terjalin Pada tanggal 26 Maret 1873. Saat itu, Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan
Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.Sekitar 8 April 1873, pasukan
Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf
Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Jendral Köhler
saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para Perwira.
Perang Aceh adalah
perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan
Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya
terus berlanjut. Dengan kata lain, dengan rentan konflik yang lama tersebut,
tidak ada masyarakat Aceh yang hidup saat itu, mengaku senang atas kehadiran
’pria berambut pirang’ tersebut.
Terakhir, Aceh juga
sempat berkenalan dengan ’pria sipit’ dari Jepang. Menurut berbagai sumber,
pada tanggal 12 maret 1942, pasukan tentara Jepang mendarat pertama kali di
pantai Kuala Bugak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur, selanjutnya menyebar
seluruh penjuru Aceh Timur dan daerah sekitarnya.
Masa jalinan Cinta
dengan Jepang walaupun tidak berlangsung lama namun membawa akibat penderitaan
yang cukup memprihatinkan, seluruh rakyat hidup dalam kondisi kurang pangan dan
sandang disertai dengan perlakuan kasar dari bala tentara Jepang terhadap
rakyat yang tidak manusiawi, akibatnya timbullah perlawanan/pemberontakan
rakyat.
Setelah Hirosima dan
Nagasaki (kota di Jepang-red) di bom atom oleh pasukan sekutu pimpinan Amerika
pada tanggal 10 Agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat. Kemudian,
setahap demi setahap mereka meninggalkan Aceh. Masa-masa inilah Aceh menjalin
cinta kasih dengan Indonesia, hingga akhirnya menerima lamaran dan bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tetapi, diluar
pembahasan tersebut, menurut pandangan penulis, Indonesia masih seringkan kali
’cemburu’ ketika membahas persoalan Aceh dan Malaysia. Pasalnya, dalam sejumlah
kasus, seperti ide meng-gonyang-ganyang Malaysia yang dikobarkan Presiden
Sukarno dan isu ’mencuri’ budaya yang sempat terjadi di tanah air, justru
ditanggapi dingin oleh rakyat Aceh. Hal inilah yang perlu dibahas secara lebih
detail sehingga tahu akal persoalan yang terjadi.
Faktor kedekatan
sejarah yang panjang dinilai telah menyebabkan mayoritas masyarakat Aceh
mencintai negara jiran Malaysia, dan begitu juga sebaliknya. Sikap romantis
antara masyarakat Aceh dan masyarakat Malaysia dianggap juga tidak pernah
luntur walaupun pemerintah dari kedua negara ini sedang terlibat ‘perang
dingin’.
Hal ini terungkap dalam
seminar sehari sejarah antar bangsa dengan tema hubungan Aceh dan Keudah dan
lintasan sejarah yang dilaksanakan oleh Program Studi (Prodi) Sejarah FKIP
Unsyiah, di Ruang Auditórium setempat, beberapa waktu lalu.
Seminar ini dikuti oleh
ratusan mahasiswa dari berbagai kampus. Hadir juga pemateri dalam seminar
tersebut adalah Prof. Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, dari Majlis Kebudayaan
Negeri Keudah, Malaysia dan Dato’ Dr. Haji Wan Shamsudin Bin Mohd. Yusuf ,
Sejarawan Malaysia. Sedangkan untuk pemateri lokal, hadir Drs. Mawardi Umar, M.
Hum, dr. Husaini ibrahim , MA, dari Prodi FKIP Sejarah Unsyiah.
“Saat ide ganyang
Malaysia yang dicetuskan oleh Presiden Sukarno pada 3 Mei 1964, seluruh rakyat
di Indonesia panas, kecuali Aceh. Demikian juga dengan ide ganyang Malaysia
yang dikobarkan pada pertengahan 2010 lalu, seluruh daerah di Indonesia
lagi-lagi menjadi Panas, kecuali Aceh. Ini membuktikan betapa dekatnya
emosional Aceh dengan Malaysia,” ungkap Rektor Unsyiah, Prof. Darni M. Daud,
saat membuka acara.
Menurutnya, kedekatan
Aceh dan Malaysia terjadi karena memiliki sejumlah kesamaan, baik dalam hal
kebudayaan, agama serta intelektual. Kedekatan ini semakin dieratkan dengan ada
penaklukan Kerajaan Keudah, Malaysia oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
”Kesamaan-kesamaan
inilah yang membuat mayoritas dari orang Aceh begitu dekat dengan
Malaysia,”tandasnya.
Sementara itu, Prof.
Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, yang dihadirkan sebagai pemateri dari Majlis
Kebudayaan Negeri Keudah, Malaysia menambahkan bahwa hubungan Aceh dan Malaysia
sudah terjalin begitu erat dan terbina Sejak lama. Bahkan, sejumlah nama daerah
di Malaysia menggunakan nama Aceh, demikian sebaliknya.
“Ada daerah di Malaysia
yang bernama Gampong Aceh, demikian juga ada Desa Keudah di daerah Aceh.
Kesamaan ini bukan terbentuk karena sendirinya, melainkan karena hubungan
sejarah yang panjang,” tandas dia.
Diluar seminar
tersebut, menurut berbagai sumber, keturunan Aceh berdiam di sekitar Pulang
Pinang, Kedah dan Perak. Mayoritas dari warga ini, disinyalir juga masih
mengajarkan bahasa dan adat istiadat Aceh kepada para generasi muda mereka.
Keturunan Aceh ini juga
dilaporkan menguasai hampir sebahagian besar sektor-sektor perekonomian di
Malaysia.”Rata-rata toko kelontong di Malaysia dikuasai oleh masyarakat Aceh.
Ini sebabnya masyarakat Aceh memegang peranan yang Sangat penting di Malaysia
hingga kini,” ungkap Maimun Lukman, 28, Dosen FKIP PPKN Unsyiah yang sempat
menempuh pendidikan magÃster di negeri jiran Malaysia.
Tidak hanya itu, lanjut
dia, sejumlah pejabat penting di Malaysia saat ini juga merupakan keturunan
asli Aceh. Namun karena telah lama berdiam diri di negeri jiran tersebut serta
mengubah status kewarganegaraannya, mereka akhirnya memperoleh kepercayaan untuk
menduduki jabatan tinggi.
“Tetapi, para keturunan
Aceh di Malaysia tetap menjalin hubungan baik dengan para pendatang baru dari
Aceh. Bahkan, masyarakat Aceh yang terlibat kasus hukum di Malaysia karena
menjual ganja, tetap diberikan keringan hukuman,” jelas Maimum.
Salah satu warga
keturunan Aceh yang tenar di Malaysia adalah Seniman kondang P. Ramlee. Dia
lahir Desa Meunasah Alue, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe yang kemudian tenar
di Malaysia. Sebenarnya, ada belasan pejabat lainnya di Malaysia, namun sulit
untuk melancaknya satu persatu.
Keterikatan Aceh dengan
Malaysia tidak hanya terasa di negeri jiran, tetapi juga di Aceh sendiri.
Sebagai contoh, saat berlangsungnya final piala AFF Asia Tenggara, antara
Malaysia dengan Indonesia, hati masyarakat Aceh justru mendua. Tidak sedikit
masyarakat Aceh yang mendukung Malaysia, yang seharusnya adalah musuh dari
Timnas Indonesia. Hal ini menandakan adanya keterikatan batin antara Aceh
dengan Malaysia hingga kini.
Para pemimpin kita saat
ini sebenarnya sangat sadar akan hal ini. Namun selama kedekatan ini dinilai
tidak membawa kemudhratan bagi kesatuan negeri, maka dianggap adalah hal yang
wajar.Tan Sri Sanusi bin Junid, tokoh Malaysia asal Aceh
Mesranya hubungan Aceh
dengan Malaysia adalah romatisme masa lalu yang seharusnya menjadi pelajaran
penting bagi bangsa kita saat ini. Dimana, Malaysia yang sebelumnya adalah
bagian dari kerajaan Aceh ternyata mampu berkembang jauh lebih maju dari
induknya sendiri.
Sedangkan membandingkan
daerah Aceh dengan Negara Malaysia saat ini bagaikan membandingkan langit dan
bumi. Antara kedua daerah ini, terdapat sejumlah kesenjangan yang sangat jauh
berbeda sehingga sulit bagi para pemimpin kita untuk saat ini untuk mengatakan
bahwa Malaya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Namun bukanlah hal yang
musthahil untuk membangun Aceh hari ini sejajar dengan Negara Malaysia di masa
yang akan datang. Paling tidak, dibutuhkan ketekunan dan keikhlasan yang lebih
dari para pemimpin kita untuk segera berbenah setelah 31 tahun dilanda konflik.
Sejarah telah mencatat
bahwa Aceh yang dahulu telah mampu menunjukan jati dirinya pada dunia dengan
wilayah kekuasaan hingga ke Malaya. Disaat zaman masih serba sederhana,
Kerajaan Aceh justru telah mampu berbicara banyak dengan menunjukan
kepiawaiannya dalam menguasai Asia Tenggara.
Sejarah kemegahan
Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda seharusnya menjadi pacuan
semangat yang lebih bagi pemimpin Aceh hari ini untuk melakukan hal yang serupa
untuk Aceh kedepan. Jika dulu bisa, kenapa saat itu tidak. Pertanyaan inilah
yang harus dijawab oleh generasi muda Aceh hari ini dalam membangun bangsanya.
____________
Sumber: Atjeh post
Komentar