Pemikiran Islam

PERMASALAH SOSIAL UMAT ISLAM INDONESIA

Kemelut-kemelut yang banyak terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia, termasuk kecenderungan-kecenderungan sosial umat pada akhir-akhir ini dapat dijelaskan paling sedikit dari tiga aspek pokok permasalahan, yakni: 1) adanya krisis identitas Islam di kalangan umat; 2) melemahnya orientasi sosial dari ajaran Islam; dan 3) terjadinya krisis keberanian dan kepemimpinan dalam umat. Secara terperinci masing-masing permasalahan akan diuraikan sebagai berikut :


1. Krisis Identitas di Kalangan Umat

Dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 64, Allah Swt berfirman, yang artinya : "Katakanlah (hai kaum muslimin): Ya ahli kitab marilah kita kembali kepada ketetapan-ketetapan atau prinsipel-prinsipel yang kita pasti (dalam hati kecil) mengakui kebenaran-Nya, yakni: 1) tidak kita sembah selain Allah; 2) tidak kita persekutukan Allah dengan apa pun; 3) tidak kita jadikan sesuatu atau sebagian kita yang lain selain Tuhan Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah dengan mantap: Saksikan, kami ini orang muslimin".

Walaupun demikian tegas Islam memerintahkan pada pemeluknya untuk memegang identitas Islam-nya, namun banyak sekali umat Islam Indonesia akhir-akhir ini yang "ketakutan" untuk menyebut dirinya seorang muslim. Bahkan nama-nama Islami seperti Abdullah, Muhammad, Achmad, dan sebagainya semakin terdorong ke pinggir, mulai disingkat dan akhirnya dibuang atau tidak disebut-kan lagi. Sungguh menyedihkan umat ini, kalah jauh dengan umat agama lain yang semakin tegas menyebutkan identitas mereka. Kalau kita perhatikan pada media masa, acara radio, televisi dan di berbagai media sosial yang gandrung akhir-akhir ini. Betapa sering dan berulang-ulangnya nama-nama babtis mereka disebutkan utuh, seperti Paulus, Johanes, Matius, Stevanus dan sebagainya, sehingga telinga dan mata umat menjadi semakin terbiasa dengan istilah itu dan semakin asing terhadap istilah-istilah Islami. Kejadian tersebut adalah perekayasaan bukan kebetulan, karena dalam dunia sosial tidak ada yang kebetulan.

Krisis identitas di kalangan umat ini tidak hanya melanda kaum awan (mustadz afiin), namun juga kalangan intelektuannya, bahkan pada kelompok-kelompok yang pernah disebu-sebut "pejuang" Islam. Tidak jarang alumni-alumni bekas aktifis organisasi Mahasiswa Islam setelah menduduki posisi di pemerintahan bersikap tabu untuk berbicara Islam di kantornya. Bila adik-adiknya mahasiswa Islam datang menghubungi, "apa urusan minta sumbangan atau meminta nasihat," buru-buru disuruh datang ke rumah. bahkan ada yang sudah begitu ketakutannya sehingga mengatakan, "ah, jangan masalah Islam begini, saya sudah sibuk dan tidak sempat lagi". Masya Allah, aspek Islam mana yang tersisa dari diri intelektual seperti ini, syukur bila dia masih sholat, itu pun mungkin juga sering ditinggalkan karena sibuk dan takut, dituduh kearah fanatisme Islam. Sikap "taqiyah" sudah melanda kalangan intelektual muslim. Sikap ini adalah sikap menyembunyikan identitas Islamnya oleh alasan ketakutan terhadap musibah yang terngiang padanya bila identitas Islam menempel didirinya.

Dalam Islam sikap taqiyah ini pernah dikemukakan terjadi di awal Islam, di mana ada seorang budak sebagai pemeluk Islam yang baru memperoleh teror mental dan fisik dari majikannya. Budak ini karena tidak tahan menderita siksa lahir batin di mana didepan matanya dia melihat orang tuanya dan saudaranya dibunuh mati satu per satu secara sadis, pada giliran dia dengan pedang di leher dia menyatakan diri mengingkari Islamnya. Pada kasus ini Allah Swt memberikan ampunan, dan sikap taqiyah ini masih bisa dibenarkan. Sayang sekali umat Islam pada akhir-akhir ini memakai kemudahan taqiyah sebagai senjata mereka terhadap sedikit teror dan sedikit intimidasi. Mereka sudah bersikap taqiyah hanya untuk selembar tikar posisi yang kosong padahal tanpa duduk di tikar itu dia Insya Allah masih bisa memperoleh rezeki di tempat atau posisi lain yang jauh lebih besar dari tikar posisi yang didudukinya dengan bersikap taqiyah ini. pada kasus-kasus yang diibaratkan itu sikap taqiyah bukan lagi diterima oleh Islam, namun bahkan merusak Islam, meracuni akidah Islam, bertentangan dengan prinsip dalam iftitah dan ayat cuci Al-Quran, sehingga menjadi haram dan terlarang sifatnya.

2) Melemahnya Orientasi Sosial

Islam sebagai Ad Dien memberi arti yang berbeda terhadap definisi agama menurut Islam. Ad Dien dalam definisi oprasional adalah tntunan yang utuh dalam kehidupan manusia pada semua dimensinya, baik dimensi terhadap individu atau ritual maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Selama ini berbicara tentang agama banyak diasosiasikan dengan "religion" atau religi dan hanya dikaitkan dengan aspek ritual saja dari kehidupan manusia, paling tinggi adalah aspek moral dan beberapa aspek sistem nilai saja. Padahal tentang arti agama seperti ini adalah pendapat yang keliru bila ditijau dari konsepsi Islam. Bila ada orang muslim yang mengartikan agama hanya sebagai aspek ritual dan moral saja dari kompleksitas kehidupan manusia, maka dia berarti tidak memahami ajaran Islam secara utuh atau secara keseluruhan dari aspek Islam menurut petunjuk Al-Quran. "Agama dalam pengertian Islam adalah totalitas kehidupan ini, sehingga di saat kapan pun, di mana pun, dan pada aktivitas apa pun Islam memberi petunjuk dan patokan-patokan." Prinsip Islam tidak saja bila manusia itu melakukan kegiatan ritual seperti halnya bila ia sedang sholat, puasa, haji, mandi, makan, mencari rezeki, mencari huburan, sampai akan tidur lagi dia secara sadar harus selalu mengacu pada prinsip-prinsip Islami untuk setiap kegiatan-kegiatan tersebut. Islam bukan ajaran yang hanya mengajarkan bagaimana beribadah wajib, tapi Islam juga mengajarkan bagaimana ber-ibadah sosial seperti bertetangga, bergaul, berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Prinsip Islam yang digali dari Al-Quran dan Ash-Sunnah Rasul Muhammad Saw, perkembangan sains dan teknologi, serta sistem musyawarah akan mampu menelorkan konsep apa pun tentang kehidupan manusia. Tidak heran bila Islam mendatang adalah alternatif ideologi dunia, di samping stheis komunis dan sekularis-kapitalis. Bila para atheis-komunis membuang acuan wahyu dalam mengelola hidup mereka, sedangkan sekularis-kapitalis menjadikan wahyu untuk aspek ritual saja dari kehidupan mereka, maka Islam sudah paripurna mengacu pada acuan fundamental di atas secara utuh tidak sepotong-sepotong, berdasarkan urutan prioritasnya, yang menomorsatukan isi kandungan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Di dalam Al-Quran dan Hadist Sahih Nabi tidak hanya berisi perintah dan cara melakukan ibadah ritual, namun di dalamnya secara tegas memberi tuntunan yang mengandung prinsip-prinsip hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti: hal warisan, perkawinan, memilih pemimpin, menyusun hukum perdata, dan sebagainya tersaji dengan luas dalam Al-Quran dan Ash-Sunnah.

Masalah utamanya adalah sejauh mana kaum muslin mau dan mampu memakai dan mengikuti perintah dan tuntunan Allah SWT, khusnya tentang masalah-masalah hidup bermasyarakat tersebut. Antara kemauan dan kemampuan bukanlah hal yang terpisah, tapi erat kaitannya satu sama lain. Kemampuan akan tercipta bila umat itu tidak memiliki kemauan yang gigih dan kuat untuk memaha-mi dan memberlakukan prinsip-prinsip Islaminya.

3) Krisis Keberanian dan Kepemimpinan umat

Di samping umat ini kurang keberanian untuk menonjolkan identitas Islam mereka sendiri, khusus golongan intelektualnya, pada dasarnya umat Islam juga dilanda krisis keberanian untuk menetapkan setatus identitas Islam seseorang. Allah SWT. dalam Al-Quran menyebutkan empat istilah yang ber-kaitan dengan kualitas ke-Islaman ini, yakni muallaf, muslim, mukmin, dan mujahid. Tentunya sebagai manusia yang berinteraksi dengan individu lainnya, seorang pengikut Islam seharusnya berani menilai bagaimana tingkat kualitas ke-Islaman teman bicaranya dan menetapkan sikapnya terhadap orang tersebut. Jangan hendaknya setiap orang yang mengaku Islam dan mengucapkan Sya-hadat diperlakukan "sama" karena Allah mengajarkan perbedaan perlakuan pada tingkat ke-islaman yang berbeda. 

Keruwetan yang terjadi pada dimensi sosial dari Islam justru karena krisis keberanian untuk menetap-kan jenjang Islam ini sehingga ukuran-ukuran sosial menjadi kacau balau di mana yang tidak seha-rusnya memimpin dicalon menjadi pemimpin, yang tidak seharusnya dijadikan teman seiring dipilih jadi sahabat karib, yang seharusnya dibimbing malah justru ditelantarkan, yang seharusnya didekati malah disakiti hati dan perasaannya, demikian pula yang seterusnya. Kalau sudah begini rusak sistem interaksi sosial uamat akan kacau keseimbangannya, dimana yang memimpin akan dengan mudah di khianati dan sebaliknya yang memimpin juga akan mudah menyalahgunakan wewenangnya, yang menjadi teman menohok kawan seiringnya, yang ditelantarkan menjadi acuh dan pesimis, dan yang dicibirkan menjadi dendam serta antipati. Kemelut dan kekalahan dalam kompetisi sosial antara lain karena berantakannya interaksi sosial umat seperti itu.

Jika Islam ingin terhormat dalam segala aspek, perlu keberanian meninjau kembali hakikat jenjang ke-Islaman seseorang untuk bisa ditempatkan pada posisi yang tepat dalam kesatuan sosial umat, sehingga umat Islam sebagai satu kesatuan sosial menjadi teratur, serasi, harmonis merupakan kekua-tan sosial yang terarah untuk mencapai cita-cita sosialnya. Tentu saja harus disadari akan ada orang atau kelompok orang yang tidak suka umat Islam menjadi sumber kekuatan sosial yang tangguh dan membentuk kekuatan sosial kebangsaan yang harmonis seperti itu. Tentu saja mereka-mereka itu tidak jemu-jemunya dengan segala cara berupaya merobek-robek keutuhan umat Islam dengan cara memfitnah, merusak dari dalam maupun cara intimidasi, pantang tergoyahkan strategi dasarnya. Insya Allah jika begitu sikap cendikiawan muslim dan pejuang muslim, akan cepat terealisir kekuatan umat ini. Amin Ya rabba'alamin.

Sumber : Dr. Fuad Amsari dalam "Kembali Kepada cara Berfikir, Bersikap dan Bertindak Islami"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Islam

Penegakan Hukum

Jejak Sejarah Gerakan Wahhabisme