Jejak Sejarah Gerakan Wahhabisme
JEJAK SEJARAH GERAKAN
WAHHABISME
A. PENDAHULUAN
Sangat menarik untuk
memperbincangkan keberadaan Wahhabi di kalangan umat Muslim, karena umat
Muslim itu sendiri dalam menilai apa itu Wahhabi sangat beragam, dan
bahkan sangat tendensius. Judul tulisan ini juga merupakan pertanyaan, untuk
memastikan ada jawaban terhadap apa yang kita resah dan gelisahkan dengan
kehadiran Wahhabi di sekitar kita. Jika ada seorang atau sekelompok orang
yang kita sangkakan mereka adalah Wahhabi, lalu kita apakan mereka? Sekali lagi
tidak ada seorang pun yang berani menjawa dengan kata tegas, kita bantai dan
bunuh mereka!
Berdasarkan pendapat
yang berkembang dalam masyarakat kita di Indonesia, jawaban yang paling keras
adalah memberi kecaman bahwa Wahhabi itu harus kita musuhi. Mengapa mereka harus
kita musuhi? Karena mereka menentang keras suatu kelaziman turun temurun umat
Islam pada umumnya. Seperti di
antara yang mereka ributkan dan vonis bid’ah tentang: dzikir berjama’ah, dzikir
dengan suara keras, isbal, Maulid Nabi, pengajaran Sifat 20 yang disusun Imam
Abu Hasan Al Asy’ari, dan sebagainya.
Mengusut secara dekat, “Adakah Wahhabi
Di Dekat Kita? Tentu sangat mudah. Coba kita ajak mereka, atau seseorang di
antara mereka ikut dalam jama’ah dzikir yang mereka pertentangkan. Apa reaksi mereka
akan sangat mudah kita baca kalau dia adalah kalangan Wahhabi. Tapi rasa ingin
tahu dengan cara yang seperti itu terhadap seseorang yang kita sangkan Wahhabi tentu
tidak masuk akal, karena mereka bukanlah “keledai” yang bodoh. Dan juga persoalan
tidak sesederhana itu untuk mengetahui eksistensi Wahhabi dari seseorang atau
sekelompok Wahhabi beserta doktrin dan ideologi mereka dalam kalangan umat
Islam.
Terlebih lagi, gerakan
Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan
pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini terjadi di antara
kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat
literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total
terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang membabi buta, yakni
doktrin takfiri, yang menganggap kelompok lainnya sebagai kafir.
Persoalan yang paling
mendasar adalah mencermati apa dasar klaim purifikasi mereka, yaitu pemurnian
ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi mereka), serta
merta gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim yang
dipandang tidak sejalan dengan ajaran Wahhabi. Maka terjadi perpecahan di tubuh
Islam menjadi tak terelakkan. Sehingga berimbas pada perkembangan peradaban
Islam pun menjadi semakin jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan
internal yang sudah usang itu terus dipertentangkan.
Melihat dalam garis
besarnya, cita-cita akan tatanan kehidupan yang didambakan kaum Muslimin telah
dilukiskan dalam Al-Qur’an, yakni; terciptanya rumah tangga sakinah (aman dan tenteram), masyarakat marhamah (penuh kasih sayang), dan
negara yang thayyibah (paripurna)
yang tidak kekurangan suatu apa. Akan tetapi, agaknya kaum Muslimin sendiri
belum sepenuhnya dapat menggambarkan kehidupan semacam itu, karena banyak faktor
yang menjadi hambatan kita umat Muslim pada umumnya. Padahal, citra maupun cita
kaum Muslimin Indonesia harus diukur dengan: bagaimana mereka berpikir, bersikap, dan bertidak
untuk menuju kearah cita-cita tersebut.
Benar, kalau mereka mau
dan mampu membawa misi tersebut, akan mendapat gelar khairu ummah (sebaik-baik umat) seperti dilukiskan
dalam Al-Qur’an. Akan tetapi bila belum mampu, tentu saja mendapat predikat
sebaliknya, yaitu syarru ummah
(sejelek-jelek umat). Sungguh malu tentunya, karena memang kualitas, aktivitas
dan kreativitas yang seharusnya belum kita miliki. Lebih-lebih lagi terdengar dan
terlontar cemoohan dari sebagian kalangan: “untuk Islam ini mengatur rumah
tangganya sendiri saja tidak becus, apalagi mengatur yang lain”, prihal ini
tentu sangat memojokkan.
Memang dikalangan umat
Islam, ada perasaan bangga kerena jumlah bilangan golongannya, sebenarnya menggambarkan
kekerdilan jiwa seseorang, karena jelas tidak berpikir tentang kualitas kita
untuk dapat mengimbangi berbagai faktor yang menghambat kemaujuan kita umat
Islam. Kalau faktor keberadaan Wahhabi di sekitar kita, selama ini kita jawab
dengan kecaman, sama seperti kita mengukir di atas air, bahkan akan membuat
kaum Wahhabi semakin bersungguh-sungguh. Karena itu, umat Islam harus mengetahui
dan mempelajari jejak langkah sejarah perkembangan Wahhabi, sehingga dapat menarik
satu kesimpulan yang sekaligus dapat menyadarkan mereka. SALAH…!!!
B. WAHHABI SEBAGAI SEKTE EKSKLUSIF
Istilah Wahhabi tidak
diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan datang dari
orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus doktrin
ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1115 H/ 1703 M – 1206 H/ 1791 M).
Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya
mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut aliran ini
sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi stigma yang
melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah Al-Muwahhidûn
atau Ahl al-Tawhîd, yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun
justru nama yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan
secara eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut
Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid
tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang
bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebutnya
“Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.[1]
Para pengikut Wahhabi
menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya untuk memurnikan tauhid.
Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur dengan apa yang mereka namakan
sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Islam yang sarat beban historis
harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada
induk ajarannya, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti
dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para
pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru
tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau
konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap mereka
bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
Disebabkan hampir seluruh
praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni,
dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap
sebagai Sunni[2], hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi
makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat
khalifah yang pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak
lebih berarti “non-Syi’ah”.[3] Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi
merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
C. PERJALANAN WAHHABISME DALAM SEJARAH
Pendiri gerakan Wahhabi,
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan Tamim yang menganut
mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama
bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi mubaligh,
ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu
jelas[4]. Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum
(Iran), Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi. Setelah
berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin
yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya
dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian peneliti
meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni. Mereka
mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut. Salah satunya adalah
bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor yang
berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise
of Wahhabism and the House of Saud”[5], ia mengutip sebuah memoar yang ditulis
seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam “Confession of a British Spy”[6], demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim. Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukanbrainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan. Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.[7]
Dalam “Confession of a British Spy”[6], demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim. Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukanbrainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan. Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.[7]
Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris. Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi. Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal
Aliansi Wahhabi-Saudi Huraymilah terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di sinilah dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang diberi judul Kitâb al-TawhĂ®d, sebuah rujukan yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
___Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang pelajar.
___Tampaknya para
pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd
Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.[8]
Setelah empat belas tahun
menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya, ‘Uyaynah, yang kini
memiliki kondisi yang lebih menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu ‘Utsman ibn
Mu’ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah
untuk setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak
terkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang
dianggapnya melakukan bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah
kaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang dianggapnya
menyimpang.
Namun ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn Mu’ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir’iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, yang notabene bermusuhan dengan amir ‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu ‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan.
Selanjutnya terbentuklah
sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan
perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud mendapatkan legitimasi
keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab diuntungkan dengan diangkatnya
menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai mazhab resmi; dan dalam
perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah
Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting
dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata,
Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.[9] Inilah babak awal
lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat segala macam
bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad bin Saud
kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran
dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tahun 1159 H/ 1746 M, aliansi
Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak
sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap
sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Mula-mula mereka menyerang mazhab Syi’ah,
kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak
mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam kurun waktu 10
tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab.
Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud berkembang seluas 30 mil persegi.[10] Tahun 1206 H/1791 M,
tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah, Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi motivasi untuk melakukan
penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan April tahun
1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala, tercatat 4000 orang dibantai
secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam Husain di
sana. Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di
Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah
mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari kekuatan yang
semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan diri dari dari
Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan
instabilitas di wilayah kekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia,
Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru.
Pendudukan kaum Wahhabi
atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni Kerajaan
Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai aksi teror yang
dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim
sedunia. Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk
menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan
kelompok Wahhabi. Dir’iyyah pun diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa’ud, amir
saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik
kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini
merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada
orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan itu membuat
kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan terhadap kelompok
Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin mendekatkan diri kepada kolonial
Inggris. Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang
sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo, kembali meminta
dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris
mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal abad ke-20,
tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil merongrong kekhalifahan
Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu, Abdul ‘Aziz, dimanfaatkan.
Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200
orang yang membangkang dibantai secara kejam.[11] Berkat sokongan Inggris,
perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah kepemimpinan Abdul ‘Aziz
berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932
kerajaan Saudi Arabia terbentuk. Ini menandai periode kebangkitan baru aliansi
Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang):
Patron Baru dan Melemahnya Ikatan. Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka. Kembali aliansi ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui kucuran
petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan Wahhabismenya itu
berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat kepadanya, tetapi
juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam.
Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang
semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang pendiri,
Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah
berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal memalukan yang
menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap
kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin dikurangi. Tetapi isu-isu
sektarian yang menyangkut perlakuan buruk terhadap mazhab minoritas, terutama
Syi’ah, tetap berlangsung.[12]
Namun seiring berjalannya
waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan Wahhabi dan keluarga
Saudi pun semakin kentara. Pemicu utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup
hedonis, serta mulai munculnya gejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai
berani mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan di Mekkah
bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad ‘Utaibi, seorang
mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya kekecewaan
pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi. Dikuasainya Masjidil Haram oleh
sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak.
Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan
situasi di tanah suci.[13]
Perang teluk 1991 dan
ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara
kelompok Wahhabi dan rezim Saud. Sementara pemerintah
Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru menganggap
Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi. Lantas orang bertanya,
jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika Irak diluluhlantakkan
Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika
genosida terhadap rakyat Palestina berlangsung hingga kini? Jawabnya sederhana:
haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka.[14]
Itu pula yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung
penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota bene
berpaham Wahhabi.
Maka ketika World Trade
Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September 2001, ulama Wahhabi
bernama ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang tidak hanya membenarkan
serangan terhadap WTC, tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim
yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya
termasuk keluarga Kerajaan Saudi.[15] Namun meski demikian, masih banyak
jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
D. SALAFISME: WAJAH BARU WAHHABISME?
Ada pengertian yang agak
kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah keduanya sama atau berbeda.
Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf. Namun
jika ditinjau dari kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara
keduanya.
Sebagai respons terhadap
berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, berkaitan dengan makin
luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan
Ikhwan al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan
yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara tokoh-tokoh
pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan konservatif.
Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah kepada masa lalu dan
para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shâlih), karena itu gerakan mereka
disebut sebagai Salafiyah. Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha
merekonsiliasi ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan)
kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.[16]
Akibat situasi politik di
dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat antara Salafi dan
Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan Arab Saudi. Di bawah
payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan
lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan
al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika
mereka mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang
mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka sangat
beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing.
Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid
Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan, mulai
bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah transformasi
Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu yang dikenal
bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb (w.1960).
Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah,
namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda
dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah). Implikasi paling
serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir. Muslim nominal (Islam
“KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan
dibunuh.[17]
Watak radikal itulah
barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan Salafisme dengan Wahhabisme.
Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan pandangan keberagamaan dengan
Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup mencolok. Adapun yang membedakannya
adalah sebagai berikut:
__Salafi lebih menekankan
persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima
pandangan mereka.
__Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
__Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah
Salafisme dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama
yang berkembang di Indonesia.
E. SEKILAS AJARAN WAHHABI
Setelah memaparkan
sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit menyinggung
doktrin utama ajaran mereka. Dari paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca
bagaimana corak ajaran mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba
meringkasnya seraya menambahkan beberapa poin yang penulis anggap penting.
Kaum Wahhabi, seperti
pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat linier, literal, kaku,
serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits.
Umumnya mereka menolak majâz (metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu sesat
dan semua yang sesat itu masuk neraka. Sehingga bid’ah hanyalah sebuah
eufimisme, kata pelembut untuk ‘kafir’.[18]
Mereka juga menolak
keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta tidak mementingkan peninggalan
sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah
tempat kelahiran Nabi, rumah Ummul Mu’minĂ®n KhadĂ®jah, serta tempat tinggal Nabi
dihancurkan. Padahal, menurut Syaikh Ja’far Subhani, awalnya Muhammad ibn
‘Abdul Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan
saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan Rasulullah dan
para sahabatnya yang mulia. Tetapi para pengikutnya kini telah meluaskan
usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan Islam, dengan dalih
perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah.[19] Ini tentu sangat
disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.
Kian hari umat Islam
mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun bagi Wahhabi, persoalan utama
umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana mereka membaginya menjadi tiga
bagian:[20]
1) Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid ini mengandung
arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa dan
pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid ini sekadar pengakuan
verbal yang dengannya saja belum memadai untuk mencapai kualitas sebagai
Muslim.
2) Tauhid al-Asma wa
al-Sifat
Mengandung pengertian
hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut dalam Al-Qur’an. Tidak
diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada siapapun selain Tuhan. Ini
merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam
antropomorfisme.
3) Tauhid al-‘Ibâdah
Mengandung pengertian
bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid inilah yang dianggap
paling penting, yang membatasi secara tegas antara Islam dan kufur, antara
tauhid dan syirik. Di sini tauhĂ®d al-‘ibâdah didefinisikan secara negatif,
dalam arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah
yang mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai
penyimpangan. Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang
sangat keras.[21] Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah, tabarruk,
syafâ’ah, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi dalam Islam Sunni
dan Syi’ah sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas tauhĂ®d al-‘ibâdah. Dalam pandangan Wahhabi,
bid’ah dibagi menjadi dua: 1). Bid’ah dalam adat dan tradisi; 2). Bid’ah dalam
agama. Bid’ah yang pertama hukumnya mubah/ boleh, sedangkan yang kedua haram
dan sesat. Bid’ah yang kedua kemudian dibagi lagi menjadi dua: bid’ah qawliyyah
i’tiqadiyyah dan bid’ah fi al-‘ibadah.
Bagi Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid’ah baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah fi al-‘ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
Bagi Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid’ah baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah fi al-‘ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
F. REFLEKSI SEJARAH
Wahhabisme pada awalnya
memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran seorang anak
manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal keberagamaan yang
dipandang menodai kemurnian Islam. Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh
Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak
dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian. Namun mengatakannya
bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang
lebih kuat lagi. Adapun memoar ‘Confession
of a British Spy’ tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung
beberapa kejanggalan, walaupun tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi
jazirah Arab saat itu.
Jika saja aliansi
Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak raksasa, gerakan
Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah sebagai gerakan
pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur pendek saja.
Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga
saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham
Wahhabisme di dunia Islam, hingga ke Indonesia.[22] Dan penyebaran paham
Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa
Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence
masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat
pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik Wahhabisme
yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban
Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati di Makkah dan
Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya
menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak
menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd
diberi label Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan
peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan
Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi
pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Imbas ekspansi Wahhabisme
menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan kini, nyaris tak ada
peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi. Maka menjadi sebuah ancaman
serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus
seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang sulit diterima
ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi terhadap seni. Sejak
dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu kaya, ekspresinya amat
berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan
ilahiah yang mampu membangkitkan gairah spiritualisme.
Hal lainnya yang patut
menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang mereka
tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif. Persatuan Islam
yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni ataupun
Syi’ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang
sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang
sesungguhnya.
Telah banyak sarjana,
baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif
ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk
mengungkap sejarah kelam Wahhabisme. Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang
menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran
jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke
Universitas.[23]
Mungkin membingungkan
mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme. Namun
ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan
pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang
teknologi, rekayasa dan ilmu alam. Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme
ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan
dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan
yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan
dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona.[ ]
-----------------------------------
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona.[ ]
-----------------------------------
Foote Note:
[1] Algar, Hamid. Wahhabisme, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka sebagai representasi
dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4] Hamid Algar memandang motif perjalanan Ibnu ‘Abdul Wahhab
masih tanda tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan bisnis atau
sekadar bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif perjalanannya itu
untuk menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Britain and the Rise of Wahhabism
and the House of Saud, e-Bulletin Vol.IV 16 January 2004, www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession of a British
Spy ini diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid
Algar, namun cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di jazirah
Arab saat itu.
[7] Waqf Ikhlâs, Confession of a British Spy, Istanbul: Waqf
Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44, 45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] International Crisis Group, dalam jurnal tertanggal 19
September 2005, melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum minoritas Syi’ah
terus berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru-guru secara terbuka
mengkafirkan Syi’ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama Wahhabi yang
terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi’ah.
[13] Trofimov, Yaroslav, Kudeta Mekkah, eBook, Pustaka Alvabet,
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website Wahhabi/ Salafi baik
di luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme
Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[18] Muhsin Labib, Wahabisme Dan Teologi Penyesatan.
[19] Subhani, Ja’far, Al-Milal wa Al-Nihal, Studi Tematis Mazhab Kalam,
Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam bukunya, Jejak Kafilah,
mengatakan bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus menerima dukungan
dana signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII, Al-Irsyad, dan Persis.
(Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung: Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat yang dipublikasikan
di website alamat berikut:
Komentar